Kehidupan manusia sekarang tidak pernah bisa lepas dari yang namanya sejarah. Dari dulu kita sudah mengetahui sejarah baik sejarah tempat tinggal kita, kota dimana kita tinggal, agama, ataupun sejarah mengenai keturunan kita. Dengan mengenal sejarah, kita dapat mengetahui bagaimana perjuangan yang telah diberikan dan juga sisa-sisa yang ada dari sejarah tersebut.
Dalam rangka menjelajahi serta memahami sejarah yang ada tentang Kebudayaan Tiongkok di Surabaya, para mahasiswa Prodi Mandarin Universitas Widya Kartika mengadakan acara pada hari Minggu, 9 November 2014, yang bertajuk “Mlakoe-mlakoe nang Kampoeng Petjinan” yang bekerja sama dengan Komunitas Jejak Petjinan Surabaya.
Acara jalan-jalan ini mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Surabaya, dan tempat pertama yang dikunjungi adalah Masjid Cheng Ho yang berada di jalan Gading, Surabaya. Masjid Cheng Ho ini dibangun untuk menunjukkan keberagaman agama yang ada di Indonesia. Di masjid ini, para mahasiswa juga diajak untuk mengikuti acara seni menggunting kertas. Masing-masing peserta diberikan kertas lipat dan gunting, lalu mereka semua memotong kertas menjadi bentuk-bentuk yang indah dan tentu saja bersuasanakan Tionghoa.
Perjalanan dilanjutkan ke Rumah Abu Han. Mungkin yang ada di benak kita adalah rumah penyimpanan abu pembakaran orang yang telah meninggal, ternyata Rumah Abu Han bukanlah tempat untuk menyimpan abu sisa pembakaran orang yang meninggal, melainkan rumah untuk sembahyang atau berdoa bagi keluarga bermarga Han. Di sekitar jalan Karet ini sebenarnya ada 3 rumah abu atau rumah sembahyang, yakni rumah sembahyang milik keluarga Tjoa, keluarga The. Rumah Abu Han ini dibangun sekitar abad ke 18. Saat itu rumah yang memiliki altar yang cukup luas ini dibangun oleh 3 arsitek yang masing-masing berasal dari Tiongkok, Belanda, serta Jawa.
Dengan menggabungkan keanekaragaman yang ada, maka dibangunlah rumah yang dibuat untuk menghormati leluhur ini. Robert Han, keturunan ke 9 dari keluarga Han yang berada di Indonesia, menjelaskan bahwa beliau hanya ingin mempertahankan apa yang sudah ada selama ini. Beliau merasa sayang jika menjual rumah yang sangat bersejarah ini. Beliaupun menuturkan bahwa salah satu dari rumah abu yang ada di sekitarnya sudah ditutup karena tidak ada yang mengurus lagi, sedangkan rumah abu lainnya masih dibuka namun pengurusnya sudah tua. Rumah Abu Han ini digunakan untuk sembahyang pada saat perayaan-perayaan tertentu, seperti perayaan Imlek, perayaan Qing Ming, dan perayaan Sembahyang Rebutan.
Perjalananpun kami lanjutkan menuju ke Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee atau Gereja Kristen Abdiel Gloria Samudra (GKA Gloria Samudra). Gereja yang berada di jalan Samudra ini merupakan gereja pertama yang bersuasanakan Tionghoa. Pada awalnya orang-orang yang berasal dari daerah Fu Jian dan Guang Dong banyak berdatangan di Indonesia sebagai pedagang, tukang kayu, maupun tukang foto. Lalu karena rasa persaudaraan yang sangat kental, menyebabkan orang-orang tersebut berkumpul dan beribadah bersama di gereja yang awalnya adalah hotel ini. Keunikan dari gereja yang diresmikan pada Juni tahun 1953 ini adalah dalam ibadahnya menggunakan bahasa mandarin. Dengan menggunakan bahasa mandarin, gereja ini ikut melestarikan penggunaan bahasa mandarin.
Destinasi selanjutnya ialah Hong Tiek Hian Temple atau yang lebih sering disebut sebagai Klenteng Dukuh. Penamaan Klenteng Dukuh ini dikarenakan letak dari Klenteng ini yang berada di jalan Dukuh, Surabaya. Klenteng yang berada di dalam gang ini merupakan klenteng Tri Dharma, yang berarti tiga kepercayaan yakni Konghucu, Taoisme, dan Buddha beribadah di tempat yang sama. Klenteng Dukuh ini juga memiliki keunikan, yakni adanya pertunjukan Wayang Potehi yang menampilkan wayang Potehi yang sudah jarang kita temui di Surabaya. Wayang Potehi wayang khas Tionghoaini terbuat dari kain, dan dalam pertunjukannya diiringi oleh beberapa alat musik.
Tempat terakhir yang kami kunjungi ialah Boen Bio Temple atau yang lebih terkenal dengan Klenteng Boen Bio. Klenteng yang terletak di jalan Kapasan ini merupakan satu-satunya klenteng Konghucu di Indonesia. Perbedaan yang sangat terlihat dari Klenteng Dukuh dan Klenteng Boen Bio ialah kepercayaan orang yang beribadah dan berdoa di dalamnya. Klenteng ini memiliki arti Boen yakni sastra atau budaya, sedangkan Bio yakni kuil atau klenteng. Maka dapat disimpulkan bahwa Klenteng Boen Bio ini adalah kuil atau klenteng kesustraan.
Perjalanan kamipun berakhir dengan kembalinya kami ke area kampus UWIKA. Meskipun melelahkan tetapi para mahasiswa yang mengikuti acara ini, tampak puas dan tetap bersemangat. (ellena/*)